Bismillaahirrahmaanirrahiim....
"Bagaimana caranya buat minta uang kuota ya? Kemarin tidak bisa kirim tugas karena enggak punya kuota,"
Saya mendelik. Heol! Ceritanya tuh Mbak saya baru selesai mengumpulkan tugas sekolah anaknya. Mbak ketemu Wali Murid lain dan mereka saling melihat pekerjaan. Nah anak Wali itu mengerjakan hal lain yang tidak sama dengan pekerjaan Keponakan padahal mereka satu kelas. Wali itu juga cerita bahwa tugas membuat video belum dilaporkan karena tidak punya kuota.
Sampai di rumah, Mbak saya tanya dong pekerjaan yang benar itu seperti apa? Untungnya chat WA belum saya hapus. Dan Keponakan mengerjakan sesuai instruksi Gurunya. Tugas video juga sudah saya kirimkan langsung setelah membuatnya.
Sejak pandemi, sekolah anak-anak berlangsung secara daring. Sekolah Keponakan sebenarnya termasuk yang simpel karena hanya tugas dari Guru dan sesekali penjelasan lewat kiriman video. Bukan sekolah full lewat Zoom atau Google Classroom. Jika ada tugas membuat video, itu juga tidak terlalu sering. Paling dua Minggu sekali. Dan ketika ada Wali yang tidak punya kuota, saya pun bertanya-tanya. Memang sesulit itu kah? Kan tidak mengeluarkan ongkos buat ke sekolah?
Mungkin empati saya memang kurang atau belum muncul karena belum berumahtangga dan jadi orangtua. Kebutuhan tiap keluarga juga berbeda dan saya belum merasakan yang namanya kesulitan itu. Mbak saya sendiri mungkin lebih beruntung karena tidak paham internet dan sayalah yang bertanggung jawab sebagai wakil Wali Murid.
Saya pikir, harusnya orangtua bisa mengelola keuangan dan memberikan jatah kuota untuk anaknya sekolah. Toh hanya lewat WA, dan mereka bukan pekerja yang mengandalkan internet seperti saya. Tugas pun ada hanya saat pagi sampai siang. Itu juga dikumpulkan seminggu sekali. Harusnya kan bisa berhemat. Tapi entah mengapa, masih banyak yang mengeluh tak punya kuota. Mereka berharap mendapatkan uang kuota seperti sebelum tahun ajaran baru yang besarnya sekitar Rp25.000,- perbulan.
Ketika info akan adanya kuota dari Pemerintah muncul, mereka juga menuntut segera diberikan. Padahal sekolah mengumpulkan data terlebih dahulu. Lalu surat edaran muncul di mana yang mendapatkan PKH dan KIP tidak akan mendapat jatah kuota. Dan lagi-lagi mereka marah. Padahal sebagian besar anak dapat termasuk Wali Murid yang Mbak temui. Lalu ke mana uang yang diberikan Pemerintah itu?
Empati Saat Pandemi, Silakan ke Rumah Jika Tidak Punya Kuota
Saya tahu rasanya kekurangan, bagaimana harus menahan diri agar bisa mendapatkan sesuatu yang saya inginkan. Pun saat Mbak saya bercerita tentang Wali Murid itu. Silakan ke rumah untuk mengecek tugas atau mengirimkan hasil pekerjaan anaknya. WiFi ada jika sedang tidak bermasalah atau listrik mati. Beberapa anak Tetangga dan saudara pun akhirnya datang.
Tapi kenyataan yang terjadi. Mereka hanya mengerjakan tugas sekenanya, menunda-nunda lalu bermain. Orangtuanya sendiri banyak yang cuek dan tidak ikut membantu belajar anak-anaknya. Itu yang membuat saya gemas. Dan akhirnya cerita lain muncul di mana kuota yang harusnya bisa untuk seminggu telah habis bahkan kurang dari satu hari untuk menonton YouTube atau main game online.
Sampai di sini, haruskah saya masih berempati?
Kenapa saya harus menyulitkan diri sendiri, bersusah-payah membantu memahami tugas sekolah mereka sementara orangtuanya masa bodoh? Kenapa saya harus merasa stres saat anak-anak itu tidak mau menurut pada instruksi saya karena bukan gurunya?
Ah, selesai sudah. Mungkin tak apa jika tidak berempati pada mereka demi kewarasan jiwa saya. Bukan begitu?
Tulisan ini diikutkan pada OWOP WB dengan tema Empati Saat Pandemi
Sekolahnya Alfi jarang banget kirim video, Kata gurunya sih kasian nanti kuota habis banyak. Padahal yang paling banyak nyedot pulsa ya yucub 😂.
BalasHapusKalau aku berusaha sekuat tenaga beli kuota melimpah, biar anak ga nebeng ke tetangga. Karena kalau diluar ga bisa ngawasin ngapain aja atau nonton apa aja kan?
Betul banget, Mbak. Itu Keponakanku juga kuawasi kalau nonton. Gak lari keluar sih karena ada WiFi
Hapusserba salah banget kondisi sekarang ini. sebenernya kalau mau sedikit saling mendengarkan dan memahami, aku percaya sih akan ada solusi jalan tengahnya.
BalasHapusaku di rumah nyediain wifi buat serumah, tapi anak art aku lebih seneng pakai kuota dari hp karena di kamarnya ga nyampe wifi aku. padahal mah udah aku sediain juga meja kalau mau jadi ruang belajar bersama di tempat aku biasa kerja. tapi kmaren akhirnya dpt kuota dari sekolah katanya.
Kalau beneran buat ngerjain tugas, aku pun gak masalah. Tapi ya seringnya buat main-main. Kan gemas
Hapus